top of page
  • Gambar penulisYudha Sugiarto

Rilis Temuan Survei Nasional


Rilis Temuan Survei Nasional (15 November 2017)



Literatur tentang korupsi menemukan bahwa faktor ekonomi, politik dan budaya semuanya berhubungan erat dengan korupsi. Kemiskinan dan disparitas pendapatan merupakan pendorong perilaku korup. Demikian juga sistem pemerintahan yang tidak transparan dan akuntabel. Relasi sosial hierarkis dan non-demokratis juga menyumbang peningkatan praktik korupsi. Semua faktor ini menyuburkan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) oleh aparat pemerintah dan negara (Ghaniy & Hastiadi, 2017).


Bagaimana dengan agama? Apakah agama dapat menurunkan atau justru meningkatkan korupsi?


Secara normatif, agama seharusnya mampu mengontrol perilaku korup para penganutnya. Semua agama mengajarkan untuk tidak merugikan orang lain. Namun kenyataannya, bangsa-bangsa dengan mayoritas penduduk beragama tidak ada yang lepas dari praktik korupsi. Bahkan kasus-kasus korupsi akut banyak ditemukan di negara yang memiliki identitas agama kuat, apa pun agama itu (Corruption Perception Index, 2011)



(Seldadyo & De Haan, 2006; Serra, 2006)

Ilmuwan sosial tidak melihat agama secara normatif dan formal karena cara ini tidak bisa menjelaskan perilaku korupsi. Mereka lebih melihat bagaimana nilai, norma dan perilaku yang secara langsung berkaitan dengan praktik korupsi. Misalnya norma dan aturan tentang akuntabilitas, profesionalitas, kesetaraan dan ketaatan pada hukum yang berasosiasi dengan nilai demokratis

Dalam konteks ini yang dilihat bukan agama per se, melainkan pemahaman atau budaya keagamaan yang dikembangkan oleh komunitas pemeluk agama. Untuk itu, bukan saja budaya keagamaan pengikut Islam, Kristen, Hindu bisa berbeda; tetapi budaya keagamaan antarkomunitas dalam satu agama juga bisa berbeda-beda.


Melalui pendekatan ini para ilmuwan menemukan agama sebagai faktor yang bisa jadi berkontribusi positif, negatif, atau bahkan tidak berhubungan sama sekali dengan korupsi (Ghaniy & Hastiadi, 2017; Shabbir & Anwar, 2007).


Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut, maka dapat diduga bahwa pemahaman keagamaan yang lebih menitikberatkan pentingnya kejujuran, akuntabilitas, kesetaraan, kerja keras, dan taat hukum, akan berkorelasi negatif dengan praktik korupsi. Sebaliknya, pemahaman keagamaan yang lebih menekankan ketaatan pada hirarki sosial, status sosial, dan toleran terhadap pelanggaran hukum, akan cenderung berkorelasi positif dengan korupsi. Sejumlah peneliti juga mencatat bahwa pola keberagamaan yang lebih mementingkan urusan non-duniawi dan ritual cenderung tidak memiliki hubungan dengan persoalan-persoalan nyata, seperti politik, ekonomi, dan mungkin juga korupsi.


Berikut ini adalah Link Download Rilis LSI – 15 November 2017


Slide Presentasi Bahasa Indonesia : https://goo.gl/2vrwza

Slide Presentation in English version : https://goo.gl/d3ueEi

Press Release Bahasa Indonesia : https://goo.gl/k4jZQz

Press Release in English version : https://goo.gl/GGqM4y

583 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page